KERINCI, SJBNEWS.CO.ID - Ketegangan antara warga Desa Pulau Pandan dan pihak PLTA kembali memuncak. Ucapan Humas PLTA, Alsori, yang menyindir kepemilikan tanah dengan kalimat, “Memang ini tanah nenek moyang kalian?” menuai kecaman keras dari masyarakat. Bagi warga, pernyataan itu bukan hanya menyakitkan, tapi bentuk penghinaan terhadap sejarah dan hak hidup mereka.
“Ucapan itu sangat tidak pantas keluar dari mulut seorang humas yang seharusnya menjaga hubungan baik dengan warga. Kalau mereka tidak sanggup memenuhi kompensasi Rp300 juta per KK, lebih baik angkat kaki dari desa kami,” tegas salah satu tokoh masyarakat Pulau Pandan.
Konflik ini bermula dari hilangnya mata pencaharian utama warga yang selama ini menggantungkan hidup pada Sungai Tanjung Merindu. Sungai itu kini telah berubah fungsi menjadi saluran dan pintu air milik PLTA. Sejak saat itu, ekosistem terganggu, ikan-ikan menghilang, dan warga kehilangan sumber nafkah.
“Sungai itu bukan sekadar aliran air bagi kami. Itu warisan nenek moyang yang telah memberi makan keluarga kami turun-temurun. Tapi setelah dijadikan saluran PLTA, kami bukan hanya kehilangan ikan, kami kehilangan harapan,” ucap warga lain dengan nada pilu.
Pemerintah daerah sempat turun tangan dengan melakukan mediasi. Namun, tawaran kompensasi Rp5 juta per KK dari pihak PLTA dianggap melecehkan. Warga menolak mentah-mentah dan tetap bersikeras menuntut Rp300 juta sebagai bentuk keadilan atas kerugian ekonomi dan lingkungan yang mereka alami.
Warga kini menyerukan agar Presiden Prabowo Subianto menunda peresmian PLTA Kerinci sampai hak-hak masyarakat dipenuhi secara adil dan transparan.
“Kami tidak menolak pembangunan, tapi jangan injak-injak hak kami. Jangan jadikan kami korban dari proyek besar yang tidak memihak rakyat kecil,” pungkas warga dengan penuh amarah.
Pertemuan terakhir antara warga dan pihak PLTA berlangsung di Taman Husen, Danau Kerinci, dengan pengawalan ketat. Namun belum ada titik temu. (Dilas)