JAMBI, SJBNEWS.CO.ID – Belakangan ini publik diramaikan dengan isu ijazah palsu yang dituduhkan kepada sejumlah tokoh, memicu polemik dan pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang berwenang menyatakan bahwa sebuah ijazah itu asli atau palsu?
Tudingan-tudingan yang muncul ke ruang publik seringkali dilakukan oleh pihak-pihak tanpa kapasitas resmi, seperti yang terjadi dalam kasus terbaru yang menyeret nama beberapa tokoh nasional. Nama-nama seperti dr. Tifa, Roy Suryo, hingga Rismon Sianipar, disebut-sebut ikut membuka isu ijazah palsu ke publik. Namun pertanyaannya, atas dasar apa dan dengan kewenangan apa mereka menyatakan hal tersebut?
Menurut pengamat pendidikan, Jakasim Purba Girsang, pernyataan bahwa sebuah ijazah itu palsu haruslah berasal dari lembaga resmi yang mengeluarkannya dalam hal ini perguruan tinggi bersangkutan. Jika tudingan dilakukan oleh pihak di luar institusi, maka hal itu rentan menyesatkan opini publik dan berpotensi melanggar hukum, terutama bila disertai pencurian atau penyalahgunaan data pribadi seperti fotokopi ijazah tanpa izin.
"Jika memang ada pihak yang menyebarkan fotokopi ijazah lalu menyebutnya palsu tanpa klarifikasi resmi dari perguruan tinggi terkait, ini bisa masuk kategori pencemaran nama baik atau bahkan pencurian data," ujar Jakasim.
Ia menambahkan, kebocoran data ijazah yang sampai ke publik juga patut menjadi perhatian serius perguruan tinggi. Artinya, perlu ada evaluasi dan penguatan sistem pengelolaan arsip akademik agar tidak mudah diakses atau disalahgunakan oleh pihak tak bertanggung jawab.
Kondisi ini juga menjadi cerminan bahwa masih ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh oknum untuk mendapatkan ijazah secara tidak sah. Hal ini jelas mencederai rasa keadilan, terutama bagi generasi muda yang berjuang keras melalui jalur resmi dan prosedural untuk mendapatkan gelar sarjana.
"Bayangkan, banyak anak bangsa bersusah payah menempuh pendidikan tinggi dengan seleksi ketat, tetapi ada segelintir orang yang bisa mendapatkan ijazah tanpa kuliah, hanya demi kepentingan jabatan ASN atau status sosial," imbuhnya.
Jakasim juga menyoroti fenomena penggunaan ijazah paket C untuk melengkapi syarat pendaftaran PNS atau naik jabatan. Bahkan, ada pula yang baru mendapatkan gelar sarjana setelah menjabat namun kasus-kasus seperti ini kerap tidak ditelusuri lebih lanjut.
"Jika benar ada pejabat yang menggunakan ijazah palsu untuk menduduki jabatan dan menerima gaji dari negara, maka sudah seharusnya seluruh dana yang diterima dikembalikan. Sayangnya, belum pernah ada kasus pengembalian uang negara akibat penggunaan ijazah palsu," pungkasnya.
Publik kini berharap agar polemik ini dapat menjadi evaluasi menyeluruh, tidak hanya bagi lembaga pendidikan tinggi, tetapi juga bagi pemerintah dan institusi kepegawaian negara. Langkah tegas diperlukan untuk membangun sistem pendidikan dan birokrasi yang bersih, demi menciptakan sumber daya manusia yang benar-benar berkualitas. (Jkp)