JAMBI, SJBNEWS.CO.ID - Kasus dugaan penggelapan dalam jabatan yang menyeret mantan bendahara PT Jambi Vision berinisial S terus menuai perhatian publik. Proses hukum yang menjerat S dinilai sarat kejanggalan — mulai dari audit internal tanpa legalitas hingga penetapan tersangka yang dianggap tergesa-gesa.
Audit mendadak dilakukan pada 19 Agustus 2024 di kantor PT Jambi Vision dan PT Fajar Lestari Anugrah Sejati (Flashnet). Audit dipimpin oleh H.H. (Komisaris perusahaan) bersama istrinya Y, serta dua orang yang disebut sebagai tim audit. Saat itu, Direktur Utama perusahaan diketahui sedang berada di luar kota.
Tanpa surat tugas maupun pengantar resmi, tim audit langsung meminta seluruh dokumen keuangan, buku kas, hingga kunci rekening perusahaan. Semua barang disita tanpa berita acara serah terima. Sejumlah karyawan mengaku mendapat tekanan dan ancaman selama proses audit berlangsung.
“Kami diancam akan dilaporkan ke pihak berwajib jika tidak memberi keterangan,” ujar salah satu karyawan kepada redaksi.
Audit yang awalnya diklaim hanya untuk kepentingan pelaporan pajak berubah menjadi pemeriksaan menyeluruh terhadap seluruh bagian, termasuk keuangan, administrasi, dan teknisi. Bahkan, Y, yang tidak terdaftar dalam struktur organisasi perusahaan, ikut menginterogasi karyawan — hal yang dinilai menyalahi etika dan prosedur internal.
Hasil audit tidak pernah disampaikan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), melainkan langsung dijadikan dasar laporan ke Polresta Jambi pada 2 Oktober 2024 oleh kuasa hukum E.S., yang mewakili H.H.
Tak lama kemudian, S, yang sebelumnya telah dirumahkan sejak 24 Agustus 2024, ditetapkan sebagai tersangka dan resmi ditahan pada 1 Oktober 2025. Berdasarkan Surat Perpanjangan Penahanan Nomor B-501/L.5.10/Eoh.1/10/2025 yang diterbitkan oleh Kejaksaan Negeri Jambi pada 16 Oktober 2025, masa penahanan S diperpanjang selama 40 hari, terhitung mulai 21 Oktober hingga 29 November 2025 di Rutan Polresta Jambi.
Dalam surat tersebut, kejaksaan menyebutkan alasan perpanjangan penahanan karena dugaan adanya aliran dana tagihan pelanggan sebesar Rp 8,9 miliar ke rekening pribadi S selaku bendahara perusahaan.
Namun, S melalui surat bantahan resmi menyatakan bahwa seluruh transaksi yang dilakukan selama dirinya menjabat adalah atas perintah langsung H.H., baik secara lisan, melalui telepon, maupun pesan WhatsApp.
“Semua ini atas perintah pimpinan. Bahkan ada instruksi membuat nota fiktif untuk menutupi pembagian dividen yang tidak diberikan kepada Komisaris Utama,” tulis S dalam bantahannya.
Dalam surat itu juga dijelaskan bahwa pada 30 September 2024, S telah menyerahkan seluruh uang dan dokumen perusahaan kepada A.S.T., pejabat keuangan, disaksikan oleh Y, F, D, dan S.A.. Bukti surat dan foto serah terima turut dilampirkan.
Sementara itu, Y, suami tersangka, menyebut tuduhan terhadap istrinya bersifat sepihak dan penuh rekayasa. Ia menilai kasus ini bermula dari perselisihan perdata internal perusahaan, namun kemudian berkembang menjadi kasus pidana yang akhirnya menjerat istrinya.
“Tuduhan itu sepihak. Kalau kasus ini maju ke pengadilan, saya siap membawa bukti untuk membantah semua tuduhan tersebut,” tegas Y kepada wartawan, Kamis (17/10/2025).
Kuasa hukum S juga menilai penetapan tersangka dan perpanjangan masa tahanan terlalu dipaksakan, sebab perkara perdata terkait masih bergulir di Pengadilan Negeri Jambi.
Kasus ini kini menjadi sorotan publik karena dinilai sarat kepentingan internal antara jajaran direksi dan komisaris perusahaan. Pengamat hukum menilai, tanpa hasil audit valid dari auditor bersertifikat serta tanpa keputusan RUPS, laporan pidana terhadap S berpotensi cacat prosedur.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak perusahaan, penyidik Polresta Jambi, maupun Kejaksaan Negeri Jambi belum memberikan tanggapan resmi terkait perkembangan terbaru kasus ini. (*)