Konflik Warga Pulau Pandan dan Karang Pandan dengan PLTA Memanas: “Setapak Pun Kami Tak Mundur!”

- Jumat, 22 Agustus 2025, 09:37 AM
“Setapak pun kami tak akan mundur, meski ditembaki gas air mata. Hak kami tetap kami pertahankan,"

KERINCI, SJBNEWS.CO.ID - Konflik antara PT Kerinci Merangin Hydro (PLTA) dengan warga Desa Pulau Pandan dan Karang Pandan, Kecamatan Bukit Kerman, kian memanas. Ribuan warga menegaskan tidak akan menyerahkan tanah warisan leluhur mereka, meski harus berhadapan dengan aparat bersenjata.

Pada Kamis (21/8), sekitar 2.000 warga menghadang dua unit ekskavator milik perusahaan yang hendak membuka pintu bendungan PLTA di Sungai Tanjung Perindu. Warga menilai langkah itu akan menghancurkan mata pencaharian mereka yang mayoritas bergantung pada hasil sungai.

Aksi blokade berjalan tegang. Setelah berjam-jam saling hadang, alat berat terpaksa mundur ke halaman kantor perusahaan. Namun situasi berubah panas ketika sekitar pukul 12.00 WIB, puluhan aparat kepolisian dan diduga anggota Brimob kembali dikerahkan untuk mengawal ekskavator.

Gas air mata ditembakkan bertubi-tubi ke arah massa. Suara letusan senjata api yang diduga peluru karet juga terdengar. Sejumlah warga jatuh tersungkur, sesak napas, dan terhuyung akibat terkena tembakan gas. Namun tak seorang pun mundur.

“Setapak pun kami tak akan mundur. Sungai ini adalah sumber hidup kami. Warisan nenek moyang tidak akan kami serahkan kepada siapapun,” teriak warga di lokasi.

Hingga sore hari, ratusan aparat gabungan dari Polres Kerinci, Brimob, Kodim, dan Satpol PP mengepung lokasi. Dari atas Jembatan Tanjung Merindu, aparat mencoba menghalau warga yang bertahan di posko siaga. Namun ratusan warga, termasuk ibu-ibu, tetap duduk berbaris di badan jalan hingga pukul 18.00 WIB, menolak bergeser meski dihadang pasukan bersenjata.

Bagi warga Pulau Pandan dan Karang Pandan, Sungai Tanjung Perindu adalah urat nadi kehidupan. Lebih dari 70 persen penduduknya menggantungkan hidup sebagai nelayan sungai. “Kalau sungai dimatikan, kami mau makan apa?” ungkap warga dengan nada getir.

Warga juga menolak tawaran kompensasi Rp5 juta dari perusahaan. Mereka menilai Tim Penanganan Konflik Terpadu (Timdu) Kabupaten Kerinci yang dipimpin langsung Bupati lebih berpihak pada investor dibanding rakyatnya sendiri.

“Timdu tidak menengahi, malah memaksa kami menerima uang. Kami penduduk asli, mereka hanya pendatang mencari untung. Sampai titik darah penghabisan, kami akan bertahan,” tegas warga di tengah kericuhan. (Dilas)


Tags

Berita Terkait

Berita Populer

Berita Terbaru Lainnya

X